Kamis, 29 Januari 2015

Bolehkah Menyepakati Upah di Bawah Upah Minimum?

Soal: Bolehkah Menyepakati Upah di Bawah Upah Minimum? Jawaban: TIDAK BOLEH!

Soal 
Saya mau tanya, apakah diperbolehkan membayar upah buruh di bawah UMP dengan tentunya ada kesepakatan secara tertulis dengan buruh pada awal buruh mulai masuk kerja? Demikian pertanyaan dari saya. Terima kasih. 

Jawaban: 
Umar Kasim Tim hukumonline.com 

Sehubungan dengan pertanyaan Anda, bersama ini dapat saya sampaikan penjelasan sebagai berikut:

1. Menurut Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum (UM) berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten kota (yang sering disebut Upah Minimum Regional, UMR) maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS).
2. Larangan tersebut, menyangkut beberapa aspek hukum, baik perdata maupun pidana, dan –bahkan- aspek hukum administrasi.

a.  Dari aspek hukum pidana, kesepakatan (antara pekerja/buruh dengan pengusaha) untuk membayar upah di bawah upah minimum (tanpa adanya persetujuan penangguhan dari yang berwenang) merupakan pelanggaran tindak pidana kejahatan dengan ancaman hukuman pidana penjara antara 1 (satu) tahun sampai dengan 4 (empat) tahun dan/atau denda antara Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 185 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

b.   Dari aspek hukum perdata, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan dan Pasal 1320 ayat 4 jo Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), bahwa kesepakatan dalam suatu perjanjian, termasuk perjanjian kerja, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Atau dengan perkataan lain, kesepakatan (konsensus) para pihak causa-nya harus halal, dalam arti suatu causa terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang. Dengan demikian memperjanjikan upah di bawah upah minimum (UMR/UMS) adalah null and void, batal demi hukum (vide Pasal 52 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).

c.     Dari aspek hukum administrasi, berdasarkan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan jo Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 3 ayat (2) Kepmenakertrans No. Kep-231/Men/2003 dan Pasal 2 ayat (3) Permenekartrans. No. Per-01/Men/I/2006, bahwa apabila pengusaha tidak mampu membayar upah minimum dan ada –telah- kesepakatan untuk –membayar- menyimpang/kurang dari ketentuan upah minimum, maka kesepakatan tersebut (antara pekerj/buruh dengan pengusaha) harus didasarkan atas persetujuan penangguhan dari pihak yang berwenang (dalam hal ini Gubernur setempat). Dengan kata lain, walau telah ada kesepakatan, apabila tidak/belum mendapat persetujuan (penangguhan) tidak dapat diterapkan.

3. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dengan demikian, atas dasar kesepakatan saja (antara pekerja/buruh dengan pengusaha) tidak cukup sebagai dasar untuk membayar upah menyimpang dari ketentuan upah minimum yang ditentukan. Hemat saya, upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan efisiensi dalam segala hal dengan meningkatkan produktivitas.

4. Sekedar untuk dipahami, bahwa pada prinsipnya besaran upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur (UMR/UMS) untuk suatu periode tertentu bukanlah merupakan dasar pembayaran upah untuk seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan, akan tetapi hanyalah merupakan standar upah untuk pekerja/buruh tertentu, yakni:

a.    Pada level jabatan atau pekerjaan (job) terendah (vide Pasal 92 ayat [1] UU Ketenagakerjaan jo Pasal 1 angka 2  Kepmenaker No. Kep-49/Men/IV/2003 mengenai adanya struktur dan skala upah yang berjenjang);
b. Masa kerja 0 tahun atau masa kerja tahun pertama (vide Pasal 14 ayat [2] Permenaker Nomor Per-01/Men/1999); dan/atau
c.     Masih lajang (vide Pasal 1 angka 1 Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012)

Dengan demikian, bagi pekerja/buruh yang level jabatannya lebih tinggi (di atas job yang terendah), masa kerjanya lebih dari 1 (satu) tahun, dan/atau telah mempunyai tanggungan (secara resmi), maka besaran upahnya tentu bukan lagi standard UMR/UMS, akan tetapi harus disesuaikan berdasarkan struktur dan skala upah (vide Pasal 1 angka 2 dan 3 Kepmenaker No. Kep-49/Men/IV/2003)

Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata, BW, Burgerlijk Wetboek).
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-01/Men/I/2006 tentang Pelaksanaan Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-226/Men/2000.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Kebutuhan Hidup Layak.
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-49/Men/IV/2003 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah

4 komentar:

  1. jangan pernah berhenti memberikan pencerahan pada kaum buruh...bravo spsi suintex

    BalasHapus
  2. ijin nanya agan admin, ketika kita mengharapkan kenaikan sesuai UMK dan nyatanya itu berdasarkan kesepakatan dan aturan, akan tetapi uang take home pay kita berkurang dikarenakan adanya penyesuaian jam kerja, contohnya lembur jadi sejam "sesuai dengan aturan" misalkan kita kehilangan 200rb untuk mendapatkan 40rb. kalau seperti itu gimana ya, apakah buruh akan kekeuh mengejar yg 40ribu? hanya itu pertanyaan saya, sebelumnya terimakasih mohon responnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lemburan itu tambahan kerjaan karena perusahaan lagi rame, bisa ada dan tiada.

      UMK itu akan terus ada. Ga mau menaikan UMK tapi di lemburkan, ngotot lagi anehkan!

      kalo UMK Naik Uang Lembur dll juga Naik anda akan mendapatkan lebih dari 200 ribu.

      Hapus